Selasa, 17 Desember 2019

Chapter 1.1 : Bukan Bocah Biasa

     Sekumpulan anak-anak berlari kencang ditengah ladang gandum yang mulai menguning. Mereka mengejar seorang anak laki-laki yang menggenggam sebuah kain ditangannya. Tanpa memperdulikan ladang-ladang gandum yang hancur akibat terinjak-injak kaki kecil mereka, mereka melemparkan segala sesuatu yang mereka pegang kepada anak laki-laki itu. Tongkat kayu, pedang kayu, bahkan gumpalan tanah mereka lemparkan kepada anak laki-laki itu. Namun tidak satu pun dari semua yang mereka lemparkan bahkan cukup untuk mencapai targetnya. Anak itu berlari sangat kencang hingga tidak seorang anak lain pun mampu mengejarnya dan justru semakin tertinggal jauh dibelakang. Anak itu terus berlari sampai disebuah bongkahan batu besar yang berada ditepi ladang lalu segera memanjat naik keatas batu tersebut.

"Menang..!!!!"

Ia berteriak nyaring ketika sampai diatas batu itu lalu melemparkan kain ditangannya ke udara. Anak-anak lainnya pun mulai berhenti berlari satu persatu sembari melepaskan kekesalan dengan menendang dan menginjak-injak ladang gandum dibawah kaki mereka.

"Sial ! Ini kedua kalinya kita kalah."

Salah seorang dari anak-anak itu mengumpat kesal.

"Hahahahaha.... Kalian semua sekarang adalah bawahanku."

Bocah laki-laki diatas batu itu tertawa keras lalu melompat turun dari atas batu. Ia berjalan dengan angkuh mendekati kawan-kawannya yang tadi mengejarnya. Anak-anak lainnya hanya tertunduk dan menatapnya dengan tajam.

"Hari ini kau pemenangnya, tapi lain kali kami akan menangkapmu Fatih."
"Ya.. Ya... Ya.... Aku sudah sering mendengar ucapan kalian, tapi sampai hari ini tidak ada seorang pun yang cukup cepat untuk menangkapku."

Fatih, nama anak pelari tercepat itu. Bila ibandingkan dengan teman-temannya, postur tubuhnya terbilang yang paling kecil. Namun kaki-kaki kecilnya mampu berlari jauh lebih kencang dari pada anak-anak lain yang memiliki tubuh lebih besar darinya.

"Hei, ayo kita ke sungai. Sesuai perjanjian diawal, kalian akan memberikan separuh dari tangkapan pancigan kalian hari ini untukku."
"Ayolah Fatih, tidak bisakah kita membatalkan perjanjian kita hari ini ? Lagi pula, kau selalu menang hampir setiap hari."
"Tidak bisa seperti itu, perjanjian tetaplah perjanjian. Kalian sendiri yang membuat perjanjian itu."

Wajah anak-anak itu tampak kesal karena Fatih menolak untuk membatalkan perjanjian mereka. namun mau tidak mau, mereka pun tidak dapat menyangkal kalau mereka sendirilah yang membuat perjanjian itu hari ini.

"Hei anak-anak nakal ! Apa yang kalian lakukan ? Kalian menghancurkan ladangku lagi !?"

Seorang petani berteriak dikejauhan. Mendengar suara pria tersebut, anak-anak itu segera kabur dari ladang tanpa berpikir panjang menuju sungai. Setibanya disungai, mereka tertawa terbahak-bahak karena berhasil melarikan diri setelah menghancurkan ladang gandum seseorang. Karena merasa lelah, mereka membatalkan rencana memancing mereka dan justru melompat kesungai menceburkan diri untuk berenang.

     Menjelang sore, mereka pulang kerumah masing-masing seolah melupakan semua kenakalan mereka hari ini. Fatih mengendap-endap masuk kedalam rumahnya lewat pintu belakang untuk memeriksa apakah ibunya sudah pulang atau tidak ? Melihat tidak ada seorang pun didalam rumah, ia segera masuk ke dapur lalu menyalakan tungku perapian untuk menghangatkan badan sembari memanaskan air. 

"PLAK !!"

Tiba-tiba saja sebuah ranting pohon menghujam punggungnya. Ia berguling-guling merintih kesakitan menahan rasa perih dan mulai menangis kencang.

"Ibu ? Kapan ibu pulang ?"

Suaranya bergetar karena menangis menahan rasa sakit dipukul dengan ranting pohon.

"Ibu sudah pulang dari tadi. Apa kau pikir ibu masih diladang ? Ibu mendapat laporan dari warga desa kalau kau merusak ladang mereka."

Suara ibunya tendengar kesal. Ia lagi-lagi memukuli Fatih dengan ranting ditangannya tanpa memperdulikan anak semata wayangnya yang merintih kesakitan dan meminta ampun dengan suara parau hingga ranting itu patah.

"Sudah berapa kali ibu katakan ? Jangan bermain diladang, tapi setiap hari pula kau bermain diladang dan menginjak-injak ladang. Tidak tahukah kau kalau gandum-gandum itu yang memberimu makan selama ini !"
"Ampun Bu.. Ampun... Aku tidak akan mengulanginya lagi, aku berjanji."
"Dasar anak nakal ! Kau pantas dipukul untuk kenakalanmu."
"Ampun bu...."
"Kau tidak boleh makan malam ini !"

Setelah melampiaskan kemarahannya, ibunya pergi meninggalkan Fatih didapur seorang diri. Fatih selalu meringkuk ketakutan setiap kali Ibunya marah. Perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu tidak segan-segan menghukumnya jika ia melakukan kesalahan bahkan jika itu menggunakan hukuman fisik kepada Fatih yang masih berusia delapan tahun. 
Malam itu, Fatih tidak diperkenankan makan oleh ibunya dan ia pun tidur dengan perut kosong. 

     Lentera-lentera permukiman warga didesanya cepat dipadamkan ketika malam. Bagi para warga desa kalangan menengah kebawah, menyalakan lentera terlalu lama hanya akan membuang-buang persediaan minyak lobak mereka yang berharga. Terlebih lagi, desa yang ditinggali Fatih dan Ibunya berada cukup jauh ditengah pegunungan hingga cukup sulit untuk mendapatkan minyak ikan. Selain itu, penguasa setempat menerapkan pajak yang tinggi karena perang yang terus berkecamuk diseantero daratan. Para rakyat jelata kalangan petani seperti Fatih dan Ibunya hidup dengan segala kekurangan. Perekonomian keluarganya hanya cukup untuk menghidupi mereka berdua. Dahulu ketika Fatih masih kecil, kondisi keluarganya masih cukup baik karena Ayahnya adalah seorang pengikut tuan tanah dengan posisi yang cukup tinggi. Namun semenjak Ayahnya pergi dengan gundik simpanannya meninggalkan Fatih dan Ibunya, keadaan menjadi sangat sulit. Ibunya terpaksa bekerja diladang untuk menghidupi anak semata wayangnya yang nakal. Meskipun usia Ibunya terbilang masih cukup muda, namun pekerjaan kasar diladang yang harus dilakukannya membuatnya tampak lebih tua. Kulitnya tidak lagi halus seperti perempuan seusianya. Kedua tangannya tak ubahnya layaknya tangan para pria yang kasar. Ditengah segala kesengsaraan Ibunya seorang diri membanting tulang bekerja diladang. Tidak heran jika ia menjadi marah jika ada warga desa yang mengeluhkan kenakalan Fatih. Tapi dibalik itu semua, ia tetap menyayangi anak semata wayangnya. Meskipun ia memukuli Fatih jika Fatih melakukan kesalahan, ia selalu mengoleskan obat luka saat Fatih sedang tertidur lelap. Dalam bayang-bayang kegelapan malam, tak terbayang betapa banyak do'a dan harapan yang ia panjatkan untuk masa depan anaknya. 

     Pagi harinya, tidak seperti biasanya Fatih bangun lebih awal daripada ibunya. Ia mengambil air disumur untuk membasuh muka lalu segera mengerjakan pekerjaan rumah. Mulai dari menyiapkan makanan, memanaskan air, sampai membersihkan rumah. Mungkin karena takut dengan amarah ibunya yang masih belum mereda. Ia sedang menyapu pekarangan rumah saat ibunya baru saja bangun.

"Apa yang kau lakukan sepagi ini Fatih ?"
"Tentu saja mengerjakan tugasku bu."
"Ayam pun belum berkokok, langit juga masih gelap, tidak biasanya kau terbangun sepagi ini ?"
"Bukankah itu lebih baik bu ? Lagi pula matahari terbit lebih lama dimusim dingin seperti ini."

Mendengar ucapan Fatih, ibunya pun hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku anaknya yang tidak biasa. Ia kemudia masuk kedalam rumah dan menunggu Fatih menyelesaikan pekerjaannya sebelum memanggilnya untuk sarapan bersama. Pagi itu ibunya mengeluarkan madu yang disimpannya didalam sebuah tempat kecil yang biasa mereka nikmati hanya jika sedang ada sebuah perayaan besar. Suatu hal yang terbilang mewah untuk kalangan petani. Meskipun hanya beberapa sendok madu, Fatih sangat menikmati rasa manis dari madu yang mengecap dilidahnya. 

     Setelah menyelesaikan makan pagi mereka, Ibunya segera pergi keladang sementara Fatih pergi ke sungai untuk memancing. Diperjalanan menuju sungai, ia mampir ke rumah teman-temannya untuk mengajak mereka. Namun sayang, tidak ada seorang pun dari teman-temannya yang bisa pergi ke sungai hari itu. Fatih memancing sendirian hari itu. Dibawah sebuah pohon kesemek, ia duduk bersandar sembari memainkan seruling yang ia bawa sambil menunggu umpannya dimakan ikan. Ketika sedang asik bersantai, ia melihat air sungai yang tiba-tiba mengeruh dari hulu.

"Waaah apa yang terjadi ? Kalau begini tidak akan ada satu pun ikan yang mau memakan umpanku."

Kesal dengan air sungai yang tiba-tiba menjadi keruh, Fatih mengangkat pancingannya dari sungai lalu menyusuri tepi sungai menuju hulu. Tidak jauh berjalan, ia mendengar suara pekikan orang-orang. Merasa curiga, ia mengendap-endap disemak belukar untuk melihat keadaan hingga cukup dekat dengan suara-suara itu. Ia kemudian melihat sepasukan prajurit sedang berlatih ditepi sungai. Keadaannya sungguh kacau. Beberapa prajurit terlihat sedang bertikai dengan prajurit lainnya. Tombak dengan tombak, tombak dengan pedang, dan pedang dengan pedang. Mereka saling menghantam satu sama lain tanpa ragu hingga membuat suara hantaman pedang kayu mereka terdengar keras. 

"Pertahankan formasi ! Pertahankan formasi !"

Seorang prajurit berseru-seru dari atas kudanya. Terlihat jelas kalau prajurit itu merupakan seorang perwira berdasarkan pakaian yang ia kenakan.

"Hancurkan formasi musuh ! Jangan gentar, jenderal musuh sudah terkepung !"

Seorang prajurit berkuda disisi berlawanan menyerukan teriakan perang untuk menyemangati pasukannya. Pertempuran menjadi semakin brutal, pasukan yang bertahan pun diporak-porandakan dengan serangan gencar dari pasukan yang mengepung mereka hingga akhirnya perwira berkuda itu jatuh tersungkur ketanah setelah terkena hantaman tombak. Seketika saja pasukan yang menyerbu menyorakkan teriakan kemenangan.

"Jenderal Kareem, Jenderal baik-baik saja ?"

Beberapa prajurit membantu perwira tadi bangkit.

"Aku baik-baik saja, kalian tidak perlu khawatir. Tombak kayu biasa tidak akan melukaiku."

Mereka tertawa bersama setelah melihat komandan mereka baik-baik saja. Fatih yang masih menyaksikan latihan itu dari balik semak-semak terbawa suasana dan melepaskan teriakan kemenangan sembari melompat kegirangan. Suara tawanya begitu nyaring sehingga para prajurit dibawah bisa mendengarnya.

"Siapa disana ? Tunjukan dirimu !"

Beberapa perwira berseru. Tanpa ragu, Fatih melompat keluar semak. Seketika tawa dan kegirangannya lenyap berganti dengan rasa takut yang membuat bulu romanya merinding. 

"Rupanya hanya anak kecil. Bawa anak itu kemari."

Perwira pasukan itu memberi perintah pada anak buahnya. Melihat seorang prajurit bergegas kearahnya, Fatih hendak melarikan diri. Namun seorang pemanah melepaskan anak panahnya yang tepat mengenai kaki Fatih. Fatih jatuh tersungkur karena rasa sakit dikakinya meskipun hanya terkena anak panah tumpul untuk latihan. Ia diseret menghadap perwira tadi seperti sebuah benda. Rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Ia mulai meronta-ronta dan menangis, namun prajurit itu justru semakin kuat mencengkram pergelangan tangannya. Ia kemudian dilempar ketengah pasukan yang menatapnya dengan tatapan tajam.

"Apa yang kau tertawakan tadi nak ? Apa kau pikir kami lucu ?"

Seorang prajurit mendekatinya lalu mencengkram bahunya dan membantingnya ketanah.

"Anak itu sungguh kurang ajar, bunuh saja dia."
"Ya.... Bunuh saja anak itu !"

Prajurit lain pun tampak berang melihat Fatih. Mereka mulai memukulinya dengan pedang kayu tanpa memperdulikan Fatih yang berteriak meronta kesakitan.

"Hentikan ! Apa kalian sudah gila ?"

Seorang perwira berkuda mendatangi kerumunan pasukan yang memukuli Fatih dan menghentikan mereka dengan satu seruan. Orang itu melompat turun dari kudanya lalu mendekati Fatih yang tersungkur ditanah dengan pakaian yang sudah compang-camping.

"Hei nak, kau baik-baik saja ?"

Orang itu bertanya dengan lembut. Namun Fatih seolah terlalu ketakutan hingga terus menangis. Setelah memastikan Fatih masih bisa berdiri, orang itu maju beberapa langkah ketengah kerumunan pasukan.

"Siapa pun yang memukuli anak ini, maju kedepan sekarang juga."

Orang itu memberi perintah dengan suara lantang. Beberapa prajurit meringkuk ketakutan melihat komandan mereka marah hingga tidak ada seorang pun yang berani melangkah maju.

"Aku katakan sekali lagi. Siapapun yang memukuli anak ini, maju kedepan sekarang juga ! Atau kalian semua aku hukum !"

Mendengar kalimat kedua, beberapa prajurit memberanikan diri melangkah maju.

"Mengapa kalian memukuli anak ini ?"

Orang itu bertanya dengan sorot mata setajam elang.

"Maafkan kami jenderal, tapi anak itu diam-diam menyaksikan latihan kami dari balik semak belukar."
"Lalu apa yang salah dengan hal itu ?"
"Anak itu menertawakan kami jenderal."
"Hmm.... Begitukah ?"
"Ya Jenderal, anak itu menertawakan latihan kita !"

Kerumunan pasukan itu berseru serempak seolah mencoba membantu menyelamatkan kawan mereka. 

"Baiklah kalau begitu. Sekarang kalian semua berbaris."

Setelah memberikan perintah berbaris kepada pasukannya, Jenderal Kareem memerintahkan seorang tabib untuk mengobati Fatih. 

     Tidak butuh waktu lama untuk pasukan Jenderal Kareem berbaris rapi. Jenderal Kareem berdiri didepan pasukannya dan memanggil para perwira untuk maju kedepan dengan gerakan tangan.

"Komandan pengawas, mendekatlah."

Seorang perwira melangkah maju mendekat. Ketika orang itu sudah cukup dekat, secepat kilat dengan satu gerakan Jenderal Kareem menghantamkan tombaknya tepat kebahu perwira itu. Perwira itu seketika jatuh tersungkur hingga hampir tidak sadarkan diri menerima hantaman tombak yang begitu keras.
Para perwira lain dan pasukan yang berada dibelakangnya mendadak terdiam membisu seolah mematung. Merinding ketakutan ditempat mereka berdiri.

"BANGUN !!"

Jenderal Kareem berseru kepada perwira pngawas yang masih tersungkur ditanah. Orang itu berusaha bangkit dengan sekuat tenaga, namun rasa sakit dibahunya membuatnya tidak dapat berdiri sama sekali. Melihat hal itu, Jenderal Kareem semakin marah. Ia kemudian menendang perwira itu dengan sekuat tenaga hingga membuat orang itu terlempar cukup jauh kebalakang. Kali ini orang itu pingsan tidak sadarkan diri dengan posisi telentang menghadap langit. Jenderal Kareem pun menatap para perwiranya satu persatu dengan tatapan yang begitu menakutkan. 

"Lihat kalian semua ! Komandan pasukan pun tidak sadarkan diri hanya dengan dua hantaman. Bagaimana mungkin kalian tega untuk memukuli seorang anak kecil ?"

Jenderal Kareem seolah hendak menerkam para perwira lainnya dengan tombak ditangannya.

"Tolong hentikan Jenderal !"

Ia mendadak berhenti ketika tombaknya hampir menghantam para perwira didepannya saat mendengar suara Fatih yang berseru dibelakangnya dengan suara serak. Jenderal Kareem menoleh kebelakang, ia melihat Fatih sudah berdiri tegak dengan wajah ketakutan. Ia pun menenangkan diri lalu melangkah mendekati Fatih. Fatih mengumpulkan segenap keberaniannya lalu melanjutkan.

"Aku baik-baik saja tuan jenderal. Tuan tidak perlu menghukum anak buah tuan."

Melihat anak sekecil itu sanggup untuk berdiri tegak setelah dipukuli pasukannya, Jenderal Kareem pun tak kuasa menahan rasa kagum melihat ketahanan fisik Fatih.

"Anak ini tentu bukan anak biasa."

Kalimat itulah yang pertama kali timbul di benak Kareem. Cukup lama ia mengamati Fatih hingga ia pun terpaksa tersenyum kecil mengalah setelah kalah beradu pandangan dengan seorang anak kecil aneh.

"Hei Nak, siapa namamu ?"
"Nama hamba Fatih tuan."
"Dimana kau tinggal ?"
"Aku tinggal didesa dekat sini tuan."
"Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kau kuantar pulang ? Tubuhmu tentu masih sakit bukan ?"
"Terima kasih tuan Jenderal, namun aku masih sanggup untuk pulang sendiri."
"Tidak, tidak apa. Kau tidak perlu sungkan. Lagi pula ada hal yang ingin aku bicarakan dengan orang tuamu."

Mendengar ucapan Jenderal Kareem, Fatih sadar bahwa penolakan lebih jauh tidak akan berguna. 

     Ditemani Jenderal Kareem, Fatih diantar pulang kerumahnya melalui jalan desa. Tentu saja para pengawal pribadi Jenderal Kareem juga ikut dalam rombongan. Kaki-kaki kuda mereka menerbangkan debu disepanjang jalan desa yang kecil. Para warga yang melihat rombongan itu pun mulai berkerumun disepanjang jalan dan bersimpuh ditanah. Tak pernah terbayangkan mereka bisa melihat sepasukan berkuda menyusuri desa mereka yang terpencil jauh dari ibukota. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya apa yang sedang terjadi ? Namun begitu melihat Fatih duduk berkuda bersama Jenderal Kareem, mereka pun mulai tertawa kecil.

"Aaah.. Akhirnya setan kecil itu membuat masalah besar. Tamatlah sudah dirinya kali ini."

Tidak mengherankan beberapa warga berspekulasi seperti itu jika mengingat kenakalan Fatih yang sudah terkenal diseantero desa. Namun Fatih seolah acuh tak acuh. Ia sungguh menikmati suasana ditengah rombongan pasukan itu. Ia bahkan beberapa kali membusungkan dada dan mengangkat dagu ketika berpapasan dengan kawan-kawannya seolah ia merupakan orang penting. 

     Setelah berkuda cukup lama, mereka akhirnya sampai dirumah Fatih yang berada cukup jauh dari permukiman padat penduduk. Dengan sedikit malu, ia mempersilahkan Jenderal Kareem dan pasukannya untuk beristirahat sejenak. Pekarangan rumahnya tidak begitu besar sehingga sebagian kuda-kuda terpaksa diikat disepanjang jalan didepan pekarangan rumahnya. Seolah sudah mengerti apa yang harus ia lakukan, Fatih dengan sigap menyuguhkan air hangat untuk semua orang.

"Dimana orang tuamu nak ?"

Jenderal Kareem bertanya dengan santai sembari membersihkan pakaiannya yang penuh debu.

"Ibuku mungkin masih bekerja diladang tuan, tuan mohon menunggu sejenak disini. Aku akan memanggil ibuku sekarang juga."
"Begitukah ? Apakah ayahmu sedang tidak ada ?"
"Ayahku pergi meninggalkan kami ketika aku masih kecil."
"Jadi kau hanya tinggal dengan ibumu ?"
"Benar tuan."

Setelah undur diri, Fatih segera berlari menuju tempat ibunya bekerja. Namun ditengah jalan ia berpapasan dengan ibunya yang baru saja pulang setelah mendengar kalau Fatih dibawa oleh sepasukan prajurit berkuda. Wajah ibunya jelas menunjukkan rasa kesal namun juga khawatir. Ia berpikir kalau Fatih membuat masalah besar kali ini.

"Anak kurang ajar ! Berapa kali ibu harus menghukummu agar kau sadar ?"
"Apa maksud ibu ?"
"Ibu dengar dari warga desa kalau kau dibawa pasukan."
"Aku tidak melakukan kesalahan apapun bu. Nanti aku akan menjelaskan semuanya, tapi sekarang kita harus bergegas pulang karena para prajurit itu menunggu dirumah kita."

Ibunya dibuat terheran-heran dengan ucapan Fatih. Meskipun begitu, ia terpaksa bergegas pulang dan berharap anak semata wayangnya tidak membuat masalah besar.

    Begitu tiba dirumah, ia segera bersimpuh ditanah memohon ampun dihadapan Jenderal Kareem dengan suara bergetar. Ia sudah membayangkan hal terburuk begitu melihat banyaknya prajurit yang berkumpul dirumahnya.

"Yang Mulia, hamba dengan sungguh-sungguh memohon ampun atas kenakalan anak hamba. Sudi kiranya Yang Mulia menunjukkan belas kasihan pada orang rendahan seperti kami ini."

Melihat tindakan dan mendengar ucapan ibu Fatih, Jenderal Kareem pun dibuat bingung hingga bolak-balik melempar pandangan pada Fatih dan Ibunya. Setelah mencoba memahami situasi, ia pun berkata..

"Tidak, tidak.... Bangunlah, anakmu tidak membuat kesalahan apapun. Justru aku kemari untuk meminta maaf padamu karena pasukanku melukai anakmu."

Jenderal Kareem pun membantu Ibu Fatih untuk berdiri. Setelah menenangkan ibu Fatih, ia menjelaskan segala sesuatunya kepada ibu Fatih. Ibu Fatih pun akhirnya bisa bernapas lega setelah memahami persoalannya. Namun ia pun sekali lagi meminta maaf untuk tingkah laku anaknya yang menertawakan pasukan yang sedang berlatih. Mereka cukup lama bercakap-cakap hingga Jenderal Kareem mulai mengecilkan suaranya dan mengubah posisi duduknya jadi lebih formal. Ia pun mulai mengutarakan maksud dan tujuan sesungguhnya berkunjung kerumah Fatih. 

"Begini, kedatanganku kemari sesungguhnya bukan hanya sekedar meminta maaf untuk tindakan prajurit ku pada anakmu. Namun aku bermaksud untuk menjadikan anakmu sebagai pengikutku. Bagaimana menurutmu ?"

Ucapan Jenderal Kareem terdengar begitu pelan namun juga jelas. Ibu Fatih sontak terkejut setengah mati. Ia tidak pernah membayangkan sedikitpun bahkan dalam khayalan terliarnya kalau anak semata wayangnya yang terkenal nakal diseluruh desa diinginkan oleh seorang panglima pasukan. Namun ia pun menyadari seperti apa tingkah laku anaknya hingga tidak berani memenuhi permintaan Jenderal Kareem. Pikirannya pun dipenuhi dilema akan bagaimana ia harus menolak permintaan Jenderal itu. Perlahan, kedua matanya mulai berkaca-kaca dan bahunya pun mulai berguncang karena menahan tangis. Ia benar-benar kehabisan akal untuk menolak permintaan Jenderal Kareem. Jenderal Kareem pun dapat memahami apa yang ada dibenak Ibu Fatih. Ia pun sedikit menyesali ucapan dan permintaannya yang begitu mendadak. Ia tahu betul betapa sulitnya kehidupan para petani, meminta anak semata wayang mereka sama halnya seperti mengambil kehidupan mereka. 

"Aaah, maafkan kekasaranku. Tidak sepantasnya aku meminta anakmu satu-satunya untuk menjadi pengikutku."
"Tidak Yang Mulia, hamba lah yang bersalah karena tidak mampu untuk menyerahkan anak hamba pada Yang Mulia."
"Aku mengerti perasaanmu, namun bisakah kalau kita mendengar pendapat anakmu terlebih dahulu ? Ia memang masih anak-anak. Tapi aku tahu dia tentu paham yang sedang kita bahas."
"Tentu Yang Mulia... Tentu saja.."

Ibu muda itu lantas memanggil Fatih yang langsung masuk kedalam rumah karena memang sedari tadi menunggu dibalik pintu. Fatih rupanya sudah merapikan pakaiannya  langsung berlutut menyembah.

"Fatih, apa kau sudah mendengar apa yang kami bicarakan ?"

Ibunya lantas berbicara dengan nada suara bergetar. Fatih pun menegakkan badannya, Jenderal Kareem berdecak kagum melihat ketenangan Fatih. Fatih pun dengan tenang menjawab,

"Sudah bu.."
"Lalu bagaimana pendapatmu ?"
"Sesungguhnya aku tidak mengerti apapun mengapa Tuan Jenderal tertarik untuk mengajakku menjadi pengikut Tuan Jenderal. Namun jika Tuan Jenderal begitu menginginkan diri hamba yang tak bernilai ini, sudi kiranya ibunda memberikan restu untuk melepaskan ku."

Mendengar ucapan Fatih, baik ibunya maupun Jenderal Kareem terkesan dengan setiap kalimat yang keluar dari mulut Fatih tanpa terbata-bata sedikitpun. Fatih pun melanjutkan,

"Namun Tuan Jenderal, sudikah Tuan memberikan waktu beberapa hari untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum hamba meninggalkan ibu hamba ?"
"Tentu saja.... Kau boleh berpamitan dengan ibumu, aku akan mengirimkan anak buahku dalam beberapa hari kedepan untuk menjemputmu."
"Terima Kasih tuan."

Setelah itu, Jenderal Kareem bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Fatih dan Ibunya yang masih bersujud menyembah diruang tamu. Ia lantas meminta kudanya dan langsung melompat naik kepelana lalu memacu kudanya kembali ke pasukannya yang menunggu ditepi sungai.

"Memang bukan bocah biasa..."

Dalam hati ia bergumam sembari menatap rumah Fatih yang perlahan semakin jauh dan mengecil hingga akhirnya menghilang dari pandangan.